Tujuh tahun lagi, 2015, penduduk Indonesia 300 juta jiwa. Saat ini 220 juta jiwa. Setiap 3,5 menit satu orang Indonesia menjadi buta.
Deretan data yang disampaikan Lembaga Demografi UI, dan pernyataan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari awal pekan ini, mengisyaratkan tantangan besar, bahkan kecemasan tentang kualitas manusia Indonesia.
Mengendalikan pertumbuhan jumlah kelahiran, salah satu tujuan program Badan Koordinasi Keluarga Berencana, dan mencegah pesatnya pertambahan jumlah penderita kebutaan, menjadi program yang butuh penanganan segera.
Ketika Indonesia bahkan dunia terancam krisis pangan, sebaiknya jumlah penduduk menjadi faktor yang amat relevan diperhitungkan. Ketika setiap tahun ada pertambahan 210.000 orang menjadi buta, penanganan kesehatan mata termasuk persoalan krusial. Mutu bangsa ini ada di tubir kehancuran.
Untuk jangka panjang, seperti diingatkan BKKBN pekan lalu—satu instansi resmi yang agak dilupakan pada era pascareformasi—membengkaknya jumlah penduduk sebagai malapetaka.
Kegiatan Matahati yang diselenggarakan Yayasan Lions Indonesia, Kompas-Gramedia, Perdami, harian Guo Ji Ri Bao, Mangga Dua Square, dengan sponsor utama Jakarta Eye Center, tentu tidak sekadar berangkat dari semangat karitatif. Kegiatan dimaksudkan pula untuk membangun kesadaran bersama.
Dalam keadaan rasa perasaan serba terpuruk dan semua tertuju ke urusan kebebasan politik, tidak bisa dilupakan pengembangan kualitas hidup manusia termasuk pengendalian jumlah penduduk.
Kita hapus vonis era lama serba hitam. BKKBN dan pos pelayanan terpadu, misalnya, termasuk dua dari warisan yang perlu diteruskan dalam era pascareformasi.
Pemerintah tidak bisa sendirian mengatasi persoalan keterpurukan hak-hak dasar kehidupan masyarakat. Masyarakat umum dan kelompok pengusaha diperlukan dan perlu memperoleh panggung. Ketiganya merupakan pilar dalam membangun masyarakat kewargaan (civil society).
Tantangan membangun kualitas hidup manusia mestinya sejalan dengan riuhnya kita mengembangkan kehidupan demokratis politis.
Masyarakat yang demokratis tidak bisa dilepaskan dari terpenuhinya hak-hak (paling) asasi kehidupan. Deretan data di atas baru sebagian dari data hak-hak kebutuhan asasi, menjadi pintu masuk membangun kepedulian atas seriusnya kemerosotan mutu manusia Indonesia.
Deretan data yang disampaikan Lembaga Demografi UI, dan pernyataan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari awal pekan ini, mengisyaratkan tantangan besar, bahkan kecemasan tentang kualitas manusia Indonesia.
Mengendalikan pertumbuhan jumlah kelahiran, salah satu tujuan program Badan Koordinasi Keluarga Berencana, dan mencegah pesatnya pertambahan jumlah penderita kebutaan, menjadi program yang butuh penanganan segera.
Ketika Indonesia bahkan dunia terancam krisis pangan, sebaiknya jumlah penduduk menjadi faktor yang amat relevan diperhitungkan. Ketika setiap tahun ada pertambahan 210.000 orang menjadi buta, penanganan kesehatan mata termasuk persoalan krusial. Mutu bangsa ini ada di tubir kehancuran.
Untuk jangka panjang, seperti diingatkan BKKBN pekan lalu—satu instansi resmi yang agak dilupakan pada era pascareformasi—membengkaknya jumlah penduduk sebagai malapetaka.
Kegiatan Matahati yang diselenggarakan Yayasan Lions Indonesia, Kompas-Gramedia, Perdami, harian Guo Ji Ri Bao, Mangga Dua Square, dengan sponsor utama Jakarta Eye Center, tentu tidak sekadar berangkat dari semangat karitatif. Kegiatan dimaksudkan pula untuk membangun kesadaran bersama.
Dalam keadaan rasa perasaan serba terpuruk dan semua tertuju ke urusan kebebasan politik, tidak bisa dilupakan pengembangan kualitas hidup manusia termasuk pengendalian jumlah penduduk.
Kita hapus vonis era lama serba hitam. BKKBN dan pos pelayanan terpadu, misalnya, termasuk dua dari warisan yang perlu diteruskan dalam era pascareformasi.
Pemerintah tidak bisa sendirian mengatasi persoalan keterpurukan hak-hak dasar kehidupan masyarakat. Masyarakat umum dan kelompok pengusaha diperlukan dan perlu memperoleh panggung. Ketiganya merupakan pilar dalam membangun masyarakat kewargaan (civil society).
Tantangan membangun kualitas hidup manusia mestinya sejalan dengan riuhnya kita mengembangkan kehidupan demokratis politis.
Masyarakat yang demokratis tidak bisa dilepaskan dari terpenuhinya hak-hak (paling) asasi kehidupan. Deretan data di atas baru sebagian dari data hak-hak kebutuhan asasi, menjadi pintu masuk membangun kepedulian atas seriusnya kemerosotan mutu manusia Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar